PRESENTER tidak akan menjiwai berita yang dibaca apabila tidak pernah turun ke lapangan. Karena itu, sekolah saja tidak cukup. Idealnya, presenter harus pernah menjadi wartawan.
Mulai 2000, semakin banyak televisi swasta yang bermunculan di Tanah Air. Bukan hanya itu, daerah pun semakin menunjukkan eksistensinya dengan kehadiran televisi lokal yang mengudara di daerah tersebut. Ditambah lagi dengan adanya televisi berbayar. Industri penyiaran ini tentu membutuhkan tenaga andal yang siap pakai dan kompeten.
Termasuk kebutuhan akan profesi presenter atau pembawa acara. Hal ini dibenarkan presenter berbakat Charles Bonar Sirait. Menurut dia, hingga kini ada sekira 40 stasiun televisi lokal yang sudah mengudara.
"Akan banyak program yang ditawarkan oleh stasiun TV tersebut, mulai news, talk show hingga kuis. Program ini bisa dibagi menjadi program tetap atau tidak tetap," ungkapnya.
Melihat kenyataan ini, para pengelola bisnis di dunia pendidikan, melihat peluang terbuka dengan menyelenggarakan sekolah presenter bagi mereka yang berminat mencari peruntungan di dunia penyiaran. Para pemiliknya bukanlah pemain baru yang hanya berbekal pengalaman seumur jagung.
Namun, sebagian besar adalah para presenter acara yang telah malang melintang di dunia pertelevisian dengan pengalaman belasan hingga puluhan tahun. Sebut saja Becky Tumewu dan Erwin Parengkuan serta psikolog sekaligus pembicara, Alexander Sriewijono, yang mendirikan TALK-inc School for TV Presenter & MC. Ada pula Charles Bonar Sirait yang mendirikan Public Comm Institute.
Untuk menarik peminat, sekolah ini menghadirkan para pengajar yang merupakan sederetan nama-nama presenter yang sudah tidak asing lagi. Misalnya TALK-Inc,yang menggaet di antaranya Arie Dagienkz, Ferdy Hasan, Indy Barends, Indra Bekti, Novita Angie, dan Farhan.
Sementara, IBSC TV Presenter mengajak bergabung presenter yang juga telah akrab dengan pemirsa televisi, seperti Shahnaz Haque, Fla Priscilia, dan Ivy Batuta. IBSC pun juga memasukan materi pengajaran untuk presenter berita. Materi ini dibawakan oleh pembaca berita televisi swasta yaitu Tommy Tjokro, Aiman Wicaksono, dan Vido.
Pada dasarnya segenap sekolah presenter ini mempunyai tujuan yang sama yakni menyelenggarakan sekaligus mengembangkan program belajar mengajar untuk dapat memenuhi tuntutan dunia presenter TV.
"Sebab berbicara di depan televisi, bukan suatu hal yang mudah. Dan ini menuntut kemampuan yang perlu dipelajari dan dilatih terus-menerus," ujar Becky.
Setali tiga uang dengan pandangan Charles. Presenter yang telah menerbitkan buku berjudul The Power of Public Speaking ini beranggapan, sekolah presenter sejatinya bertujuan mengasah bakat para calon presenter agar semakin mantap dan memiliki potensi maksimal.
"Di sini para siswa mencari tahu di mana letak kekuatan dan kelemahannya, dan bagaimana mereka pada akhirnya dapat tampil dengan kemampuan yang dimiliki dan menutupi kekurangannya," paparnya.
Di samping mendalami segala materi pengajaran yang berhubungan dengan dunia presenter di Indonesia, sekolah presenter pun memiliki kelebihan lain. Sekolah ini membangun jaringan produktif antarsiswa ataupun alumni dengan stasiun TV dan radio, serta rumah produksi, agen talenta dan dunia hiburan.
Menurut Program Manager IBSC Andreas Agustrianto, IBSC tidak menyalurkan para lulusan untuk bekerja di stasiun TV tertentu ataupun rumah produksi. "Tetapi kami selalu memberi tahu para siswa dan alumni jika ada lowongan presenter. Kami menghubungi mereka atau menempelkan lowongan tersebut di papan pengumuman," ujarnya.
Akan halnya dengan Becky dan Charles yang juga sepakat. Mereka berpendapat sekolah presenter hanya tempat menimba ilmu sekaligus mencari koneksi dengan pihak-pihak yang bergelut di bidang itu. Namun, mereka tidak ingin memberikan jaminan yang nantinya hanya menjadi harapan belaka, hanya demi tujuan menarik peminat.
"Karena saya pun hingga bisa menjadi presenter seperti sekarang ini, membutuhkan perjalanan waktu yang panjang dan tidak mudah," sebut Becky.
"Saya tidak ingin membuai siswa dengan menjanjikan begitu lulus mereka akan diterima di stasiun TV tertentu." Becky ingin para siswa menyadari profesi ini menuntut keseriusan, kerja keras dan kesadaran bahwa keberhasilan menjadi presenter bukan didapat dengan cara instan.
Lantas, kualifikasi presenter seperti apakah yang sebenarnya didambakan stasiun televisi maupun rumah produksi? Menurut Becky, sosok presenter pastilah menuntut penampilan yang menarik di depan kamera. Namun, bukan hanya penampilan yang diperhitungkan. Seorang presenter yang baik harus ditunjang dengan wawasan yang luas dan kemampuan komunikasi yang mumpuni.
Lain halnya dengan presenter berita. Presenter berita di RCTI Putra Nababan berpendapat, untuk menjadi presenter berita, bukan hanya kemampuan membaca berita saja yang dilihat dan bagaimana penampilan di hadapan kamera. Lebih dari itu, kemampuan menjadi presenter berita yang baik justru didapat dari jam terbang di "lapangan".
"Logikanya begini, jika tidak pernah merasakan turun ke lapangan, bagaimana presenter tersebut dapat mengerti dan menjiwai berita yang dibaca. Ini adalah nilai yang tidak dipelajari di sekolah presenter," ujar pria yang telah menjadi reporter sejak 14 tahun silam ini.
Maka, Putra menyarankan mereka yang ingin menekuni dunia ini, harus total mendedikasikan dirinya menjadi seorang wartawan bukan hanya sekadar membaca berita dan beraksi depan kamera. Putra mengaku, untuk pelatihan menjadi presenter pun disediakan oleh pihak RCTI, selama lima kali dalam seminggu dengan waktu antara dua hingga tiga jam.
Calon presenter ini akan ditempa oleh koordinator atau presenter senior, mulai memperkenalkan content berita dan lapangan, serta latihan membaca berita yang kemudian dilanjutkan dengan proses rekaman. RCTI membuka lowongan presenter berita pada periode tertentu, sesuai kebutuhan. (sindo//nsa)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar